BestStorageAuctions – Sekitar 10-20 tahun ke depan, mungkin penonton bakal mengunjungi ulang Madame Web di layanan streaming. Seperti banyak film dari era 2000-an yang jadi kiblat inspirasinya, bisa saja debut penyutradaraan S. J. Clarkson ini akan lebih diapresiasi, karena meskipun dangkal dan bodoh, nyatanya ia menyenangkan bila dikonsumsi sebagai tontonan ringan untuk teman bersantai di rumah.
Tapi untuk sekarang, Madame Web hanya menambah jajaran pesakitan di daftar rilisan SSU (Sony’s Spider-Man Universe), yang membuat Venom: Let There Be Carnage (2021) selaku installment terbaiknya sejauh ini, nampak bak sajian kelas satu.
Ditulis oleh empat orang, termasuk duo Matt Sazama dan Burk Sharpless yang berjasa memberi asupan meme melimpah lewat Morbius (2022), film ini jadi upaya SSU tampil beda. Ketika banyak film gemar mengadaptasi gaya lama dari era 70-an serta 80-an, Madame Web justru mengembalikan ingatan ke 2000-an.
BACA JUGA : REVIEW – BOB MARLEY: ONE LOVE
“Estetika Y2K” mungkin adalah istilah yang tepat. Tengok bagaimana Clarkson, dibantu sinematografi garapan Mauro Fiore, memakai beragam sudut kamera nyentrik, tiap kali intensitas adegan meningkat meski cuma sedikit. Belum lagi penyuntingan kacau yang alih-alih memberi kesan edgy, malah penuh transisi kasar yang memberi sensasi bak menaiki bus yang dikendarai oleh sopir yang hobi mengerem mendadak.
Sebenarnya ada potensi besar di departemen penceritaan, yang berpusat pada Cassandra “Cassie” Webb (Dakota Johnson), seorang paramedis yang tiba-tiba mendapati dirinya bisa melihat masa depan. Di tengah kesulitan Cassie memahami apalagi mengontrol kekuatan tersebut, ia sudah harus bersinggungan jalan dengan Ezekiel Sims (Tahar Rahim).
Seperti Cassie, Sims juga mendapat penglihatan terkait masa depan. Bedanya, hanya satu peristiwa yang ia lihat, yakni kematiannya di tangan trio Julia Cornwall (Sydney Sweeney), Mattie Franklin (Celeste O’Connor), dan Anya Corazon (Isabela Merced). Kelak ketiganya akan mengenakan kostum pahlawan super, tapi sekarang, mereka hanyalah remaja yang sukar diatur layaknya jajaran protagonis yang membanjiri film 2000-an.
Daya tarik Madame Web sebagai origin story adalah bagaimana ia sepenuhnya berfokus pada masa sebelum karakternya menyandang identitas superhero mereka. Dari situlah filmnya memakai pendekatan unik, di mana alih-alih baku hantam khas cerita superhero, ia memakai kemampuan Cassie untuk menghadirkan tontonan beraroma thriller yang mengingatkan pada seri Final Destination (“cameo” dari truk pengangkut kayu legendaris milik franchise tersebut tak lupa disertakan).
BACA JUGA : REVIEW – THE ZONE OF INTEREST
Berulang kali Casse menyaksikan masa depan tragis berisi kematian orang-orang di sekitarnya, lalu secara bertahap ia harus belajar cara guna mencurangi sang maut. Ide yang cukup unik untuk ukuran film superhero, namun sayangnya tak pernah dieksekusi secara memadai.
Contohnya babak klimaks yang menyajikan versi tanpa darah dari Final Destination. Daya hibur tetap ia miliki, tapi pengarahan Clarkson terlalu miskin visi untuk dapat menerjemahkan ragam kekuatan sang protagonis ke dalam bahasa visual yang menarik.
Sedangkan dalam hal penceritaan, bukan hal mengejutkan di saat Madame Web menyisakan banyak lubang (Mengapa ketiga karakter remaja harus ikut ke rumah sakit sehingga persembunyian mereka terbongkar? Bagaimana bisa Cassie dengan status sebagai buronan bisa semudah itu keluar masuk negara?), pula menampilkan baris-baris kalimat klise yang tak jarang terdengar menggelikan. Memang begitulah kekhasan film arus utama 2000-an. Tapi haruskah semua aspek (termasuk kekurangannya) ditiru? Mungkin di tahun 2034 kelak saya akan bernostalgia dan memaafkan segala kekurangan tadi.