BestStorageAuctions – Setelah bertutur kurang lebih selama 110 menit, Shayda yang jadi wakil Australia di Academy Awards 2024 mengakhiri penceritaannya. Sebelum kredit bergulir, rekaman home video milik sang sutradara, Noora Niasari, muncul dan memperlihatkan interaksi ibu-anak yang mirip dengan dinamika dua karakter utama filmnya. Seketika saya sadar, Niasari melahirkan film ini berdasarkan kehidupan masa kecilnya.
Di situ filmnya berevolusi menjadi surat cinta yang lebih personal. Apa yang penonton saksikan bukan sekadar buah imajinasi sang sineas, melainkan curahan perasaan, baik luka maupun kekaguman, yang telah lama menunggu waktu untuk dituangkan.
BACA JUGA : REVIEW – INSHALLAH A BOY
Mona (Selina Zahednia) adalah perwakilan Niasari di film ini. Seorang bocah yang terjebak di tengah prahara rumah tangga orang tuanya. Ibu Mona, Shayda (Zar Amir Ebrahimi), berharap bisa segera bercerai akibat kekerasan yang dilakukan sang suami, Hossein (Osamah Sami). Keduanya tinggal di rumah milik Joyce (Leah Purcell), yang memang dikhususkan bagi para perempuan pencari suaka.
Shayda menampilkan perjuangan seorang ibu melindungi puterinya, seorang perempuan mengejar kemerdekaan dari kekangan sistem patriarki serta prasangka masyarakat, dan tidak kalah penting, sakit hati warga negara yang dibuang oleh tanah airnya.
Shayda adalah imigran asal Iran yang tinggal di Australia untuk berkuliah. Kabar mengenai tuntutan cerainya telah tersebar luas, tidak hanya di kalangan imigran, tapi juga di Iran. Banyak orang mencela keputusan Shayda. Ibunya pun meminta Shayda bertahan dengan alasan, “Minimal Hossein adalah ayah yang baik”. Jika gagal bercerai, Shayda mesti ikut kembali ke Iran bersama Hossein, di mana hukuman telah menantinya.
Ketika negara gagal memberi tempat bernaung, siapa yang dapat melindungi para perempuan? Sesama perempuan tentu saja. Shayda beruntung mengenal Joyce beserta penghuni rumah penampungan, juga sahabat bernama Elly (Rina Mousavi) yang berdiri di sampingnya. Shayda bukan cuma surat cinta Niasari kepada ibunya, juga untuk seluruh perempuan.
BACA JUGA : REVIEW – MELUKIS LUKA
Terlihat betul filmnya dibuat dengan penuh sensitivitas. Tatkala alurnya tak menawarkan hal baru terkait isu empowerment, cara sang sutradara membungkus kisah formulaik itulah yang terasa spesial. Dibantahnya anggapan bahwa supaya penonton terikat secara emosional, kekerasan dan pemerkosaan terhadap perempuan perlu digambarkan secara gamblang. Niasari menggunakan narasi verbal yang diucapkan oleh protagonisnya, dan mendapatkan hasil maksimal berkat kepekaan pengadeganan serta kekuatan akting.
Zar Amir Ebrahimi, yang sebagaimana Shayda juga terasing dari tanah air akibat penghakiman moral, begitu lihai mengolah perasaan. Walau begitu, pelakon paling mencuri perhatian di sini adalah si aktris cilik, Selina Zahednia, yang sama sekali tidak kagok mengutarakan luka di hati karakternya.
Akting keduanya termaksimalkan oleh pemakaian rasio 1.33:1 yang turut berfungsi menyimbolkan sesaknya hidup Shayda. Saya termasuk penyuka film-film dengan “rasio kotak” tersebut. Dimensi yang sempit mengurangi potensi adanya ruang yang terbuang sia-sia di layar. Alhasil framing-nya memiliki fokus yang lebih jelas.
Nantinya Shayda bakal memperlihatkan bagaimana jajaran karakter perempuannya berusaha menikmati hidup. Mereka datang ke klub malam, pula menghadiri pesta dan perayaan adat. Shayda dan kawan-kawan sadar bahwa pergi ke luar berpotensi mendatangkan risiko (letak rumah penampungan dirahasiakan rapat-rapat).
BACA JUGA : REVIEW – THE HOLDOVERS
Apakah itu berarti para perempuan ini gagal mengontrol dorongan bersenang-senang? Apakah mereka lalai? Jika pemikiran-pemikiran itu sempat terlintas di benak kalian, jangan lupa bahwa idealnya, para perempuan ini tidak perlu was-was menikmati hidup. Jangan lupa bahwa semua berawal dari penderitaan yang disebabkan oleh laki-laki dalam hidup mereka. Orang-orang itulah yang seharusnya disalahkan.