BestStorageAuctions – Godzilla menyerang Kong dengan gerakan suplex. Pemandangan tersebut, meski belum sekonyol (in a good way) dropkick di Godzilla vs. Megalon (1973), sudah cukup menjelaskan arah yang filmnya tuju. Penggemar seri Godzilla dari era Shōwa, atau minimal yang tidak anti terhadapnya, akan dibuat berdecak kagum oleh gelaran monster mayhem yang dibawa ke titik terbaik oleh Adam Wingard selaku sutradara.
Kisah dibuka oleh petualangan Kong di rongga bumi. Tanpa manusia, tanpa bahasa verbal, hanya ada aksi sang penguasa yang tak tertandingi di hadapan makhluk lain. Kondisi itu membuatnya kesepian. Kong pun kecewa saat raungan yang ia dengar bukan berasal dari monster raksasa yang bakal jadi ancaman baru. Cara mengawali penceritaan yang cukup cerdik untuk sebuah film yang niscaya akan dilabeli “bodoh” oleh banyak penonton.
Baca Juga : REVIEW – AGAK LAEN
Bagaimana dengan Godzilla? Dia masih aktif “melindungi” manusia dari serangan titan. Ilmuwan Monarch masih terus memonitor pergerakan keduanya. Begitu pun Dr. Ilene Andrews (Rebecca Hall), meski di saat bersamaan ia tengah direpotkan oleh sulitnya si puteri angkat, Jia (Kaylee Hottle), beradaptasi dengan dunia permukaan.
Rasanya cuma segelintir penonton The New Empire yang datang ke bioskop demi menyaksikan drama manusia, yang di suguhan macam ini cenderung tersaji hampa. Tidak keliru. Naskah buatan Terry Rossio, Simon Barrett, dan Jeremy Slater lebih tertarik mengajak kita menyibak misteri baru dalam rongga bumi. Misteri yang nantinya kembali mempertemukan Godzilla dan Kong di medan peperangan antar raksasa.
Menyebut poin di atas sebagai kekurangan rasanya kurang tepat, sebab itu adalah pilihan yang diambil secara sengaja oleh trio penulisnya. Daripada memaksakan drama hambar, mereka menggunakan cara yang lebih menyenangkan untuk menambah daya tarik karakter manusia.
Diciptakanlah comic relief combo melalui pertemuan Trapper (Dan Stevens) si dokter hewan khusus titan yang berpenampilan bak Ace Ventura, dan Bernie (Brian Tyree Henry) yang kini menjalankan podcast seputar konspirasi dunia monster. Penampilan kedua aktornya mampu menghapus stigma bahwa kebosanan selalu mengiringi tiap manusia mendominasi layar di film kaiju Hollywood.
REVIEW – GHOSTBUSTERS: FROZEN EMPIRE
Biar demikian Wingard tetap menaruh cinta lebih besar pada para monster. Tidak perlu membahas adegan aksinya untuk menyadari kecintaan tersebut. Tengok bagaimana para monyet raksasa punya kemampuan berekspresi yang mendekati manusia. Mereka memiliki emosi, bahkan kepribadian. Kong sendiri bak perwujudan machismo jagoan aksi Hollywood dengan segala kepercayaan diri mereka.
Sedangkan terkait eksekusi aksi, sang sutradara semakin piawai mengkreasi deretan shot epik yang membuat mereka nampak bak dewa agung daripada makhluk aneh menyeramkan biasa. Sewaktu akhirnya mereka saling berjibaku, hanya kata “dahsyat” yang sempurna mendeskripsikannya.
Kuncinya adalah kebebasan. Ketakutan jika filmnya terlihat konyol, tidak serius, dan serba berlebihan sepenuhnya ditinggalkan. Godzilla x Kong: The New Empire bagai dibuat untuk melakukan hal-hal gila yang belum sempat dicapai di zaman Shōwa akibat keterbatasan teknologi. Wingard ibarat anak kecil penggemar Godzilla yang bermain-main dengan gembira, lalu berhasil merealisasikan imajinasi liarnya.