BestStorageAuctions – Tidak berlebihan menyebut Lampir punya potensi luar biasa besar. Ketimbang mengikuti pakem horor lokal dengan segala penampakan setan buruk rupa, ia memilih jalur horor psikologis dengan mengetengahkan naluri bertahan hidup yang membuka wajah gelap manusia. Sayangnya proses mengeksekusi gagasan cemerlang tersebut tak berlangsung mulus akibat ketidakmampuan memenuhi poin-poin esensial subgenrenya.
Keengganan Kenny Gulardi selaku sutradara sekaligus penulis naskah untuk bermain aman sudah terbaca sejak momen pembuka yang memperkenalkan penonton pada sosok Lampir (Sheila Salsabila) dalam adegan hitam putih cantik. Orkestra garapan Hajar Asyura dan Nara Bunyi, ditambah rumah mewah yang nantinya bakal jadi latar pertumpahan darah, menekankan ambisi Lampir untuk tampil “berkelas”.
BACA JUGA : REVIEW – DREAM SCENARIO
Alurnya berpusat pada sesi foto pre-wedding Wendy (Jolene Marie) dan Angga (Rory Asyari), di sebuah rumah milik teman Agnes (Ardina Rasti). Roby (Gandhi Fernando) si fotografer sekaligus pacar Agnes, Nanda (Hana Saraswati) si perias, dan Rizki (Ge Pamungkas) yang dibenci oleh kawan-kawannya akibat masalah di masa lalu. Keenam sahabat itu tidak tahu bahwa rumah tersebut merupakan sarang Lampir yang tengah mencari mangsa.
Kemunculan sosok Lampir yang menjauh dari citra nenek tua sebenarnya tidaklah spesial, sebab pengarahan sang sutradara cenderung generik. Keunggulan justru terletak pada modus operandi si hantu pendamba kecantikan, yang alih-alih asal menyerang, memilih untuk memecah belah para korban terlebih dahulu, layaknya predator yang bermain-main dengan calon makanannya.
Lampir pun menjadi horor yang tidak mengumbar jumpscare. Pasca menemukan sebuah gulungan misterius, yang disusul oleh kematian pertama salah satu dari mereka, mulai timbul saling curiga di antara karakternya. Di sinilah daya tarik Lampir memuncak, yang sayangnya, di saat bersamaan juga jadi awal titik balik penurunan kualitas.
BACA JUGA : REVIEW – BEETLEJUICE (1988)
Naskahnya menerjemahkan “saling curiga” dengan begitu dangkal. Konflik antar karakter selalu dipresentasikan dalam bentuk pertengkaran penuh teriakan, yang seiring waktu semakin terasa repetitif, apalagi saat penulisan dialognya dipenuhi kalimat-kalimat klise. Ketika banyak cara alternatif untuk memperlihatkan gesekan interpersonal, Lampir ngotot memakai pendekatan yang terasa cerewet. Akibatnya, klimaks tatkala Lampir menampakkan wujud aslinya pun ikut terdampak dan kehilangan momentum.
Akting jajaran pemain yang masih terjebak pada teriakan-teriakan “keras namun hampa” guna meluapkan keputusasaan karakter mereka (bentuk akting “besar” yang tak dibarengi olah rasa mumpuni) pun tidak banyak membantu. Saya menyukai nihilisme kelam yang kisahnya bawa, tapi sebagai horor psikologis, Lampir masih terlalu tipis.