Beststorageauctions – Darwin dan teorinya memaparkan bagaimana manusia dan primata begitu dekat satu sama lain. Evolusi seperti menggambarkan primata sebagai bentuk primitf manusia yang belum sempurna. Namun ketika manusia disejajarkan dengan primata lainnya, apakah nilai kesempurnaan sudah pasti tercapai? Apakah sah menyebut manusia sebagai mahluk yang paling tinggi derajatnya?
Begitu banyak percobaan yang dilakukan sampai akhirnya Will (James Franco) menemukan formula yang nyaris sempurna untuk mengobati alzheimer. Percobaan demi percobaan dites kepada beberapa simpanse. Hasilnya adalah formula ALZ 112 dan Bright Eyes: seekor simpanse yang menunjukkan kepintaran luar biasa. Maju ke tahap berikutnya, formula ALZ 112 siap dipresentasikan di depan klien GenSys, lab tempat Will bekerja sekaligus mencoba memamerkan hasil kerjanya pada Bright Eyes. Sayangnya percobaan tersebut gagal. Bright Eyes mengamuk dan terpaksa ditembak mati. Ternyata Bright Eyes meninggalkan seekor bayi simpanse. Tidak tega, Will pun membawanya pulang dan merawatnya layaknya seorang ayah. Ia menamai bayi tersebut Caesar.
Bertahun-tahun, Caesar (Andy Serkis) berkembang dengan kemampuan yang luar biasa dan hidup layaknya manusia. Tinggal di rumah bersama Will dan ayahnya, Caesar menjalani kehidupan dengan ritual makan bersama di meja makan, belajar bahasa isyarat, bahkan memakai baju layaknya manusia biasa. Semua berjalan lancar sampai suatu saat Caesar berusaha melindungi ayah Will yang sakit, namun tanpa sengaja melukai tetangga mereka. Insiden ini membuat Caesar dikirim ke penampungan primata bersama primata lain, yang berbeda jauh dengan Caesar. Ketakutan, keterasingannya, perasaan terbuang dan keinginan memberontak akhirnya bercampur jadi satu di kepala Caesar. Ia pun berusaha memutar otak untuk bisa lepas dari penampungan.
Film ini memang berusaha menunjukkan hubungan antar mahluk yang konon masih berada dalam satu garis evolusi yang sama. Hubungan antara Will dan Caesar digambarkan begitu indah sejak Will membawa pulang Caesar, yang ditinggal mati Bright Eyes. Begitu sayangnya Will terhadap mahluk kecil yang juga dikagumi atas kepandaiannya tersebut. Berkali-kali dipaparkan adegan Will, ayahnya, dan Caesar duduk bertiga: mulai dari makan malam, main catur, atau bahkan hanya tertawa bersama menikmati suasana hangat di rumah mereka. Lebih dari itu, kesehatan ayah Will kembali membaik sejak Caesar bergabung di rumah mereka. Ayah Will yang mengidap alzheimer memang menjadi salah satu kelinci percobaan Will yang berusaha mengujicoba obat kreasinya pada manusia. Hasilnya memuaskan. Setidaknya bagi ayah Will.
Perkembangan karakter Caesar berubah pesat pasca penangkapannya dan ditempatkan di penampungan. Di antara primata penghuni penampungan, Caesar seperti terasing di antara mahluk sesama kelas primata lainnya. Ketakutan Caesar begitu jelas digambarkan saat memandang pada kera lainnya. Secara visual, perbedaan Caesar sangat jelas karena ia memakai baju layaknya manusia, sedangkan lainnya tidak. Caesar seperti keluar dari zona nyamannya: dari rumah ke ‘hutan’ yang tidak pernah dikenalnya. Hal ini seperti menunjukkan ironi bagi seekor kera: bagaimana seharusnya mereka bertahan di hutan atau alam terbuka, tapi justru menemukan ketakutan dan ketidaknyamanannya di sana. Seharusnya Caesar bisa bertahan dengan bantuan kawan-kawannya sesama kera, untuk bisa tetap hidup dalam keterasingan dan keterbatasan. Nyatanya, Caesar malah dimusuhi oleh sesamanya, karena dianggap asing dan berbeda dari kera pada umumnya.
Ironi itu tidak berlangsung lama. Kecerdasan Caesar yang di atas rata-rata akibat ALZ 112 membuatnya bisa mengalihkan ketakutannya menjadi kekuatan. Kekuatan tersebut yang ia tunjukkan pada kera lainnya bahwa ia bukanlah kera biasa. Daripada sekadar menggunakan kekuatan, Caesar mengandalkan strategi yang ia rancang untuk membebaskan diri dari penampungan tersebut. Secara tidak sadar, kemampuan berpikir Caesar ternyata juga membantunya mengubah watak yang selama ini dimilikinya. Ia mampu berpikir bahwa ia tidak melulu harus mengikuti apa yang selama ini diperintahkan oleh Will atau manusia lainnya. Akhirnya ia mengikuti ego dan instingnya sebagai seekor hewan. Ketika ia memimpin kelompok kera yang kabur dari penampungan, instingnya mengarahkannya ke hutan yang sebelumnya pernah dikunjunginya bersama Will.
Alur film ini dibangun secara perlahan dan makin menaikkan ketegangan penontonnya bersamaan dengan tumbuhnya Caesar dari kecil hingga dewasa. Awalnya kita akan diperkenalkan dengan Caesar kecil dengan segala keibaan pasca tewasnya Bright Eyes, sang ibu. Kasih sayang Will selama bertahun-tahun menghasilkan seekor kera yang layaknya tumbuh seperti anak-anak pada umumnya dan makin dicintai. Fase nyaman dan tenang melihat Caesar tumbuh mulai terusik ketika Caesar menunjukkan sisi pemberani dan karakter asli kebinatangannya. Puncaknya, saat Caesar mengeluarkan kata pertamanya. Layaknya seorang anak yang pertama kali bicara, Caesar menunjukkan posisinya sebagai kera yang sudah bisa ‘bersuara’. Itulah jati dirinya.
Aksi kebinatangan Caesar makin terasa kuat pada adegan pertarungannya melawan manusia di jembatan yang sudah dikepung puluhan polisi. Caesar memimpin pasukannya menerobos dan menghajar tanpa ampun. Caesar dan kawanan kera tersebut memporakporandakan San Fransisco, supaya sampai pada tujuan mereka: Red Oak Forest. Kerusuhan yang dibangun lewat mimik puluhan ekor kera dengan ekspresi yang siap menerkam semua penduduk kota menghasilkan ketakutan tersendiri. Bayangkan naluri binatang yang bercampur dengan kecerdikan manusia dalam tubuh kera. Tagline film ini (“Evolution become revolution”) sukses tergambar dengan bangkitnya primata, yang bertarung melawan mahluk yang konon berevolusi dengan lebih sempurna. Ketakutan dalam diri Caesar dengan mudahnya berubah menjadi suatu kekuatan yang mengerikan.
Watak Caesar inilah yang bisa menyetarakan kedudukannya dengan manusia. Caesar yang merasakan kasih sayang seorang ayah sejak kecil, makan dan berpakaian layaknya manusia seperti memosisikan kera sejajar dengan manusia dan sukses berinteraksi satu sama lain. Terlihat bagaimana kesetaraan yang terjadi antar dua mahluk yang konon berasal dari satu evolusi. Caesar sendiri bukan seperti binatang yang melulu hanya memakai kekuatan tetapi hati dan akalnya terasah dengan atau tanpa ALZ 112 buatan Will. Rangsangan kasih sayang itulah yang membuat Caesar menunjukkan jati dirinya yang berbeda dari kera pada umumnya bahkan identitasnya nyaris menyerupai manusia.
Revolusi yang terjadi pada kawanan primata tersebut juga menunjukkan adanya pemberontakan sekaligus pertahanan diri ketika kelompok mereka diserang. Tidak berbeda dengan manusia, mahluk yang satu ini juga akhirnya terganggu jika ketenangannya diusik. Terlihat bagaimana tingkah laku mereka di habitat mereka sehari-hari yang bukan lagi sekadar tempat mereka makan dan tidur. Di sanalah mereka dikekang, dibelenggu kebebasan dan juga jati dirinya. Sehari-hari, terkadang mereka dipermalukan lewat perlakuan manusia yang seenaknya pada mereka di dalam kandang masing-masing. Padahal dalam kandang itulah mereka punya hak penuh atas dirinya sendiri. Tentu saja situasi yang terus menerus terjadi menyulut revolusi yang terjadi di kawanan primata ini.
Konon, manusia sebagai bentuk sempurna dari evolusi primata ini sudah mencapai tahap yang tidak lagi berpikir dan bertindak secara primitif. Akal sehat yang dianugrahi sebagai penghargaan tertinggi pada manusia ini terkadang pun diacuhkan dan manusia kembali pada titik evolusi terendahnya. Sifat manusia yang ingin menunjukkankekuatannya di depan seekor kera pun muncul di adegan Will masih menggunakan tali untuk mengikat Caesar saat jalan-jalan meskipun ia memposisikan diri sebagai ayah Caesar. Ada kesenjangan antara manusia dan hewan yang tidak bisa dihindari dan diubah. Terlihat bagaimana sebagai manusia, ia ingin menunjukkan posisi yang lebih tinggi dan superior.
Revolusi yang dilakukan kawanan primata itu dilakukan juga untuk menghasilkan suatu perubahan dan memberikan pandangan baru bagi manusia. Ketakutan para manusia akibat kekuatan Caesar dan kawan-kawan memposisikan primata bisa memegang kendali atas mahluk yang sering memandang mereka sebelah mata.
Jika melihat adegan di salah satu film pendahulunya, Planet of the Apes, formula yang digunakan lebih kurang sama namun dengan posisi vice versa. Konsep yang ditawarkan kedua film ini sama: memposisikan masing-masing mahluk hidup dari kelas yang nyaris sempurna berada pada titik lemahnya dan secara tidak sadar mengiba pada kelompok mahluk lainnya. Di titik itulah kekuatan mendadak muncul untuk bangkit dan insting tersebut memaksa mereka untuk berbuat di luar zona nyaman mereka. Hal ini juga yang berusaha disampaikan pada penonton Rise dan Planet. Ada kekuatan lain yang tersembunyi dan siap menggilas posisi aman manusia kapan saja, namun tidak semua memiliki kekuatan ini. Kekuatan ini bisa muncul kapan saja dengan cara tak terduga dan kadang mengerikan.
Kekuatan tidak terduga itulah yang menjadi kunci dari kedua film ini meskipun disampaikan dengan cara yang berbeda. Kekuatan untuk bisa menggunakan akal lebih dari otot, kekuatan untuk membaca insting di segala situasi, sampai akhirnya kekuatan untuk melakukan perubahan ketika merasakan sesuatu yang salah terjadi di sekitar kita. Namun, ketiga elemen tersebut tidak sekejap menghilangkan sela yang muncul antar dua mahluk untuk hidup berdampingan karena pada akhirnya ada sesuatu yang memang tidak akan bisa diubah lewat kekuatan apapun. Apakah benar seekor kera bisa berevolusi layaknya manusia lewat kecerdasan dan hati yang dimilikinya? Bagaimana manusia bisa mencapai keinginannya tanpa memaksimalkan sisi kebinatangan yang tak disadari muncul pada wataknya? Pada akhirnya semua sama. Tidak ada kekuatan yang mampu mencapai itu semua.