BestStorageAuctions – Ulama masih berlainan pendapat terkait pemaknaan soal dua tanduk setan yang mengiringi terbit dan tenggelamnya matahari sebagaimana disebut dalam hadis. Film Tanduk Setan punya interpretasinya sendiri, dengan menyamakan matahari dengan kehidupan manusia, sedangkan siklus terbit dan tenggelam ibarat kelahiran dan kematian.
Tanduk Setan adalah antologi berisi dua cerita. Entah kenapa materi promosinya seolah malu-malu untuk membeberkan informasi itu. Cerita pertama yang bertajuk Kelahiran dibesut oleh Amriy R. Suwardi, sedangkan cerita kedua, Kematian, lahir dari kepala Bobby Prasetyo. Keduanya menyoroti dosa-dosa yang menyulitkan terjadinya dua siklus tersebut.
BACA JUGA : REVIEW – AMERICAN FICTION
Di Kelahiran ada Jaya (Boy Muhammad) yang tengah menanti proses persalinan istrinya, Sumirah (Nur Mayati). Tapi kelahiran si jabang bayi tidak terjadi dengan mudah. Hari telah berganti hari, dan Sumirah tak kunjung melahirkan. Di saat bersamaan, Jaya nampak sulit diandalkan dan serba kebingungan dalam segala situasi.
Sewaktu dua kawannya datang menjenguk, mereka membahas bagaimana Jaya enggan mendaftar bekerja di pabrik, semata karena ia pesimis bakal diterima. Akibatnya, kini Jaya cuma kerja serabutan, sehingga bingung mesti bagaimana membiayai akikah calon anaknya. Hari itu, Jaya dengan santai bermain gim dengan teman-temannya sampai subuh, bak tanda sedikit pun kekhawatiran atas kondisi Sumirah. Jelas bahwa Jaya belum siap memiliki momongan.
Amriy R. Suwardi tak menggerakkan filmnya sesuai pakem konvensional, setidaknya di paruh awal yang mengesampingkan formula parade penampakan setan khas horor arus utama. Temponya merayap perlahan membungkus obrolan kasual yang bertujuan membangun penokohan sang protagonis, sambil sesekali mengingatkan bahwa kita sedang menonton film horor lewat beberapa fenomena misterius yang mengiringi persalinan Sumirah.
Kemudian di Kematian kita melihat bagaimana Nur (Taskya Namya) bingung menangani sang ibu yang kesulitan menyambut ajal akibat susuk yang ia tanam semasa muda guna mencari nafkah. Di sini pun terdapat sosok ayah (Rukman Rosadi) yang tak bisa diandalkan, dan sekadar duduk mengamati dari sudut ruangan sembari mengisap rokok. Apakah Tanduk Setan memang ingin menyentil dinamika gender? Entahlah. Naskahnya tak pernah melakukan eksplorasi secara signifikan.
Ketika kisah pertama punya durasi sekitar 55 menit, maka kisah kedua cuma bergulir selama 20 menit. Entah apa alasan di balik perbandingan jomplang tersebut, tapi dampaknya, Kematian terasa jauh lebih padat. Diiringi musik gubahan Fajar Ahadi yang dibuat untuk membangun urgensi alih-alih asal berisik, pacing-nya tersaji solid. Lalu seiring kemunculan twist yang cukup efektif, filmnya berakhir sebelum ia berlangsung terlampau lama.
Keunggulan itu tak dipunyai Kelahiran yang babak ketiganya penuh adegan berlarut-larut yang berjalan jauh lebih lama dari kebutuhan. Alhasil intensitas yang dimiliki babak pertama pun luntur. Amriy sempat membawa ide menarik kala membuat para hantu menampakkan diri dalam wujud yang terdistorsi di tengah hutan. Mungkin sang sutradara ingin meniru kondisi mata manusia ketika melihat hantu di dunia nyata, yang mana merupakan gagasan unik, namun sekali lagi, tempo yang draggy, ditambah terlalu gelapnya pengadeganan, membuat ide itu kehilangan kengeriannya.
Tanduk Setan memang menampilkan kualitas terbaiknya sewaktu tidak sedang berkutat di penampakan hantu. Sebab pada dasarnya ia didesain sebagai cerita mistis alih-alih horor konvensional. Kumpulan cerita di mana umat manusia menuai dosa yang dahulu mereka tanam.