BestStorageAuctions – Sembilan tahun berlalu, Inside Out 2 masih mampu membuat penonton –setidaknya saya– untuk terhubung dengan perjalanan Riley Andersen dan berbagai emosi yang ia alami sebagai seorang remaja yang sedang tumbuh berkembang.
Meski saya tak bisa lagi dibilang remaja, gejolak emosi dan psikologis yang dialami Riley semasa pubertas mengingatkan saya betapa kompleks perasaan pada saat itu.
Rasa cemas, gelisah, overthinking, dan terkadang iri yang dialami setiap dari mereka yang pernah melalui fase pubertas dan remaja terwujud dalam sejumlah karakter emosi baru dalam sekuel ini.
BACA JUGA : Review Film Dune Part One, Epos Sci-Fi yang Megah!
Adalah Anxiety, Envy, Ennui, dan Embarrassment ditampilkan sangat apik saat kelompok emosi baru itu mencoba ‘menjajah’ Riley seperti pendahulunya, Joy, Sadness, Anger, Fear, dan Disgust.
Masalah yang ditampilkan oleh Kelsey Mann dan Meg LeFauve selaku perancang cerita dan naskah yang ditulis oleh LeFauve bersama Dave Holstein ini juga terbilang sederhana, tapi pernah dialami setiap orang: gejolak emosi saat mengetahui orang dekat akan pergi.
Dalam Inside Out 2, Riley merasa gelisah saat mengetahui kedua sahabatnya akan pindah sekolah. Dari sana, berbagai polemik terkait emosinya bermunculan, termasuk berbagai emosi yang sebelumnya tak ada semasa ia masih anak-anak dalam Inside Out (2015).
|
Sebagai sutradara, Kelsey Mann berhasil mengeksekusi dengan baik permasalahan ringan dalam alur cerita menjadi situasi menegangkan sekaligus seru. Terutama saat geng emosi lama berjuang mengembalikan jati diri Riley yang dijajah geng emosi baru.
LeFauve bersama Holstein berhasil menggodok alur cerita dan dialog yang benar-benar menghidupkan situasi Riley selama 96 menit film berjalan. Hal yang paling saya sukai adalah bagaimana Riley digambarkan dengan ketidaksempurnaannya, mulai dari kondisi fisik hingga psikologis.
Perwujudan karakter itu dengan tegas menyampaikan pesan bahwa manusia memanglah makhluk yang tidak sempurna. Namun manusia tetap berharga dengan segala penampilan dan pengolahan karakter yang dimilikinya, karena memang sejatinya manusia diliputi oleh emosi-emosi tersebut.
Selain itu, saya mencatat Inside Out 2 tidak hanya memberi porsi untuk karakter utama tampil dengan ciamik, tetapi juga memperhatikan karakter-karakter pendukung. Dialog dan visualisasi karakter pendukung sangat diperhatikan hingga mampu menghibur dan mengundang gelak tawa.
Sebut saja karakter baru lainnya, Nostalgia, yang beberapa kali muncul mengingatkan hal-hal yang telah dilalui Riley. Interaksi antara Nostalgia yang muncul hanya beberapa kali itu menjadi hal menarik yang saya nantikan di saga berikutnya dari film ini.
BACA JUGA : Review Film Furiosa: A Mad Max Saga (2024)
Inside Out 2 juga masih menjaga aspek visual yang memang terlihat tidak dibuat sembarangan. Visual itu memuaskan ekspektasi dan memberikan sentuhan baru tanpa meninggalkan keramahan yang sudah dikenal sebelumnya berkat film pertama.
|
Meski begitu, scoring dalam film ini sebenarnya terkesan masih sama seperti sebelumnya baik dari sajian dan komposisi. Namun aspek scoring yang tak ada perubahan itu tak mampu menggoyahkan perhatian dari alur cerita yang sebenarnya serius tapi dikemas dengan seru nan jenaka.
Catatan saya dari Inside Out 2 hanyalah dominasi karakter Anxiety dalam cerita, sama seperti Joy pada film sebelumnya. Saya mengharapkan tiga emosi lainnya seperti Envy, Ennui, dan Embarrassment punya peran yang signifikan dalam karakter Riley sehingga tak mudah untuk terlupakan karena dominasi Anxiety.
Peran ketiga emosi itu pun tampak tidak terlalu proporsional apabila dibandingkan dengan Sadness, Anger, Fear, dan Disgust. Padahal, mereka punya banyak celah dalam ikut campur mengendalikan emosi Riley terlepas dari peran utama yang diemban Anxiety.
Pada akhirnya, film yang kembali hadir setelah hampir satu dekade ini mampu menjawab pertanyaan lewat sajian dan alur cerita yang lebih segar dari sebelumnya.
Selain itu, Inside Out 2 juga jadi awal menjanjikan bagi keberlanjutan kisah Riley dengan ragam emosi baru yang akan tumbuh seiring masa pertumbuhannya. Tak hanya menggaet anak-anak lewat sajian penuh warna, film ini juga relevan dengan remaja dan dewasa lewat masalah yang dinarasikan.