BestStorageAuctions – REVIEW – AMERICAN FICTION
American Fiction adalah fiksi tentang cara menceritakan realita, dan bagaimana realita dibawa ke medium fiksi. Sebuah proses menuangkan hal nyata ke dalam karya tak nyata, yang masing-masing dibedakan oleh pengalaman tiap pembuatnya serta tujuan di balik pembuatan karya tersebut. Adanya perbedaan-perbedaan itu membuat penghakiman atas karya semestinya tidak terjadi dengan mudah dan asal.
Baca Juga : Review Film Exhuma (2024)
Thelonious “Monk” Ellison (Jeffrey Wright) adalah pria kulit hitam kelas menengah ke atas. Selain menjadi profesor di Los Angeles, ia pun menulis beberapa novel, yang meski gagal di pasaran namun mendapat pujian akademik. Monk pernah berujar bahwa ia “tidak percaya pada konsep ras”, serta menganggap karya literatur yang hanya menjual penderitaan kulit hitam sebagai upaya memenuhi hasrat kulit putih semata.
Di salah satu kelasnya, seorang mahasiswi kulit putih mengutarakan ketidaknyamanan membahas literatur yang mengandung “N” word di judulnya. Monk menampik penolakan si mahasiswi yang akhirnya memilih keluar dari kelas. Bahkan saat orang kulit putih berpikir memakai perspektif “woke”, mereka tetap membungkam minoritas. Ironis.
Mungkin itu pula alasan karya Monk tidak laku. Berlawanan dengan keinginan Monk, novelnya yang membahas kultur Yunani kuno dipajang di seksi black literature, di saat para pembaca mengharapkan kisah pilu minim kebahagiaan dari “buku kulit hitam”.
Masalah dengan mahasiswi tadi memaksa Monk cuti sementara waktu dan pulang ke Boston, di mana ia: mengunjungi ibunya, Agnes (Leslie Uggams), yang menunjukkan tanda-tanda alzheimer; menemui adiknya, Lisa (Tracee Ellis Ross), yang merasa ditinggal seorang diri untuk merawat sang ibu; bertemu lagi dengan si adik bungsu, Cliff (Sterling K. Brown) yang seorang gay; pula berkenalan dengan pengacara bernama Coraline (Erika Alexander) yang menarik hati Monk.
Mengadaptasi novel Erasure karya Percival Everett, naskah buatan sang sutradara, Cord Jefferson, begitu cerdik menyusun penokohan. Berbagai informasi yang melandasi karakter mereka (Masalah seluruh anggota keluarga Monk, nasib ayah mereka, dll.) dengan jeli diungkap lewat obrolan kasual yang tak pernah terkesan seperti eksposisi. Alhasil penonton akan benar-benar mengenal karakternya secara organik ketimbang merasa “dipaksa berkenalan”.
Baca Juga : Review Film Kung Fu Panda 4 (2024)
Di departemen musik, Laura Karpman merangkai nomor-nomor jazz yang indah, punya rasa, walau tidak jarang bergerak liar. Sama seperti dinamika antar karakternya, juga bagaimana para cast-nya memerankan mereka. Tatkala Jeffrey Wright tampil bak musik jazz bertempo rendah yang meski terkesan tenang bukan berarti tanpa hentakan, Sterling K. Brown ibarat sesi improvisasi yang bergulir liar tanpa kehilangan kepekaan rasa.
Nantinya, Monk iseng menulis novel yang memenuhi dahaga para pembaca akan kisah pilu orang kulit hitam sebagai bentuk ejekan, yang justru membawanya melewati titik balik kehidupan yang tak terduga. Di situlah American Fiction makin gencar melempar sindiran menggelitik, yang meskipun tajam, tak pernah dipenuhi kebencian.
Di sudut berlawanan dengan sang protagonis ada Sintara Golden (Issa Rae), penulis novel We’s Lives in Da Ghetto yang Monk benci karena dianggapnya cuma memenuhi stereotip kulit hitam di mata kulit putih. Jefferson menghadirkan adegan menarik saat mempertemukan dua penulis tersebut, memberi mereka ruang diskusi yang membantu kita memahami sudut pandang masing-masing.
American Fiction adalah curahan keresahan yang pantang begitu saja menyalahkan. Monk si kelas menengah ke atas dengan segala privilege yang memfasilitasinya berpikir kritis, Sintara yang ingin mengentaskan diri dari penderitaan yang sudah kenyang ia konsumsi, tak satu pun disalahkan maupun direndahkan. Satu-satunya yang film ini gambarkan bak karikatur adalah orang kulit putih yang mengeksploitasi luka para minoritas atas nama komoditas.