REVIEW – MONISME

REVIEW - MONISME

REVIEW – MONISME

BestStorageAuctions – Apa jadinya jika kamu mengetahui suatu fakta penting dengan urgensi tinggi untuk disampaikan, namun akibat kuasa suatu pihak, menunjukkan dan mewartakan realita itu secara apa adanya menjadi hal yang mustahil? Kalau pertanyaan tersebut dilontarkan kepada Riar Rizaldi selaku sutradara Monisme, mungkin ia bakal menjawab, “Ciptakan saja realita versimu sendiri”.

Begitulah kekuatan sinema. Dia menyediakan wahana untuk menciptakan apa pun sebebas mungkin. Itu pula yang Riar Rizaldi lakukan kala menuturkan berbagai kisah seputar manusia-manusia di sekeliling Gunung Merapi. Naskah yang memberi kredit pada “orang-orang yang hidup di kaki Gunung Merapi” bercerita dengan semaunya, mengalir tanpa memedulikan garis yang membatasi fiksi dan realita.

BACA JUGA : Sinopsis Film FAST AND FURIOUS 7 (2015)

Ada beberapa cerita yang disampaikan, dari rutinitas dua ahli vulkanologi (Rendra Bagus Pamungkas dan Kidung Paramadita), jurnalis (Kidung Paramadita) yang mewawancarai penambang pasir (Rendra Bagus Pamungkas) guna mengungkap praktik korupsi, hingga seorang warga (Rendra Bagus Pamungkas) dengan segala pemujaannya terhadap Merapi. Ya, satu aktor memerankan lebih dari satu peran, bak mewakili ragam perspektif (sains, spiritual, ekonomi) yang disatukan oleh Merapi selaku figur “absolut”.

Di tiap kisah, sekelompok ormas (dipimpin Whani Darmawan) selalu memamerkan kuasa, melakukan persekusi kepada mereka yang coba mengungkap kebenaran, menggambarkan cengkeraman premanisme yang mengakar kuat di Yogyakarta.

Kondisi di atas, termasuk korupsi di proyek tambang, merupakan realita yang akan sulit diberitakan secara apa adanya (sebagai dokumenter misal). Bayangkan ancaman yang berpotensi diterima dari para pemegang kepentingan. Itulah mengapa Riar Rizaldi membangun dunianya sendiri. Diciptakannya fiksi yang membaurkan batasan realita. Fiksi yang menelanjangi realita.

BACA JUGA : Review Film Badarawuhi di Desa Penari (2024)

Penceritaannya mungkin perlu dipadatkan (durasi 115 menit menghasilkan beberapa momen draggy), pun sebagai film yang ingin mengaburkan batas antara fiksi dan dokumenter, batas itu tidak seberapa kabur (mudah memilah adegan mana yang “direkayasa”, mana yang “nyata”), namun pesona Monisme lewat narasinya yang misterius layaknya perjalanan menelusuri tubuh Merapi memang begitu menghipnotis.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top