BestStorageAuctions – Gelar sebagai film torture porn paling populer mungkin dipegang oleh Saw dan Hostel, namun jika bicara yang paling gila dan sadis maka kedua film tersebut sama sekali tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Grotesque karya Koji Shiraishi. Koji Shiraishi sendiri paling dikenal lewat film horror fund footage super seram berjudul Noroi: The Curse yang bagi saya merupakan film found footage paling menyeramkan. Judul Grotesque sendiri berasal dari bahasa Latin grotto yang berarti “tempat tersembunyi”. Sampai sekarang film ini sering disebut sebagai film paling brutal, paling disturbing serta sebutan “paling…” lainnya yang pada intinya merujuk pada satu kesimpulan yaitu Grotesque adalah film sinting. Film ini sendiri dilarang beredar di Inggris dengan alasan yang kurang lebih menyatakan bahwa Grotesque jauh lebih gila daripada Saw maupun Hostel karena disaat dua torture porn asal Hollywood tersebut masih menyelipkan misteri serta latar belakang karakter, lain halnya dengan Grotesque yang hanya berfokus pada penyiksaan-penyiksaan sadis. Memang kenyataannya film ini tidak punya cerita rumit ataupun misteri terselubung layaknya Saw. Kisahnya sangat sederhana dimana ada sepasang pria dan wanita yang dalam perjalanan pulang dari kencan pertama mereka harus menerima nasib malang saat seorang pria misterius menculik mereka. Kemudian segala kegilaan dimulai di sebuah ruangan tersembunyi milik sang penculik tersebut.
BACA JUGA : REVIEW – BADLAND HUNTERS
Selanjutnya yang terjadi adalah berbagai macam bentuk penyiksaan mulai dari fisik sampai mental dilakukan oleh sang penculik terhadap kedua korbannya, dan semua itu dihadirkan dengan begitu vulgar disini. Tentu saja ada berbagai macam penyiksaan khas film-film torture porn yang penuh dengan darah dan terasa begitu menyakitkan. Grotesque punya semua adegan penyiksaan gila yang akan memuaskan dahaga para pecinta darah tumpah atau potongan tubuh berhamburan. Mulai dari yang tingkatnya ringan seperti penusukan, yang sedang seperti memotong anggota tubuh dengan gergaji mesin, sampai yang paling ekstrim dan terasa begitu menyakitkan semisal pemotongan penis atau puting. Jika anda merasa sudah melihat semua jenis penyiksaan dengan bermodalkan delapan film Saw dan tiga film Hostel, maka Grotesque sudah siap mengejutkan anda dengan berbagai macam penyiksaan sinting yang mungkin selama ini hanya ada menjadi mimpi basah sutradara-sutradara Hollywood macam Eli Roth. Tentu saja Koji Shiraishi berbaik hati dengan menyajikan itu semua tanpa basa-basi, atau dengan kata lain melalui grafik yang vulgar. Efek visual yang hadir juga cukup baik hingga makin membuat segala kesadisannya terasa nyata entah itu darah mengalir atau potongan tubuh berhamburan tentunya dengan darah berlumuran. Dari awal hingga akhir ini adalah sajian penyiksaan tanpa henti yang bahkan turut menyiksa emosi penontonnya.
Emosi? Apa yang bisa diperbuat oleh sebuah film torture porn tanpa latar belakang karakter yang mencukupi terhadap emosi penontonnya? Terasa aneh memang, namun meskipun tanpa pengenalan karakter yang mendalam saya sudah dibuat bersimpati pada kedua karakter utamanya. Kita hanya tahu bahwa mereka berdua baru saja pulang dari kencan pertama yang menyenangkan, hanya itu. Namun seiring dengan berjalannya film dan saya diperlihatkan pada hasrat bertahan hidup dan saling meindungi satu sama lain yang cukup besar antara mereka berdua, saya pun perlahan mulai menaruh simpati. Mungkin kisah keduanya tidak sampai terasa sebagai perwujudan cinta sejati yang membuat mereka saling rela berkorban, tidak sekuat itu. Namun setidaknya tanpa adanya pendalaman karakter yang lebih, film ini sudah berhasil membuat saya berharap keduanya bisa selamat dari siksaan yang mereka alami, sebuah harapan yang sepanjang film pun selalu saya sadari sebagai harapan yang semu. Berkat rasa simpati pada kedua karakternya inilah yang membuat Grotesque lagi-lagi berhasil mengejutkan saya lewat kemunculan dinamika emosi yang cukup kuat khususnya di bagian akhir. Ternyata film ini tidak hanya pamer kesadisan namun juga bisa membangun ketegangan yang tidak main-main. Dinamika emosinya pun diatur cukup baik naik turunnya.
Dan jika bicara soal dinamika emosi, Grotesque memang paling jago membuat penontonnya emosi dan bersumpah serapah. Tidak hanya karena kegilaan adegan penyiksaannya tapi juga karena keberhasilan film ini membuat ekspektasi saya meninggi, menaruh secercah harapan yang nampaknya mustahil sebelum kemudian membanting dan menampar saya keras-keras akan kenyataan yang ada. Hebatnya itu dilakukan tidak hanya sekali tapi beberapa kali, dan saya masih juga termakan oleh “permainan” dari film ini. Bagi saya Grotesque adalah film torture porn sejati, kenapa? Karena penyiksaan yang ditampilkan oleh film ini tidak melulu penyiksaan fisik namun juga ujian mental bahkan sampai sexual humiliation. Kedua karakter utamanya tidak hanya disiksa habis-habisan tubuhnya tapi juga disiksa mentalnya, dipermalukan, dilecehkan, pokoknya membuat Jigsaw dan orang-orang gila di Hostel terasa begitu manusiawi dalam memperlakukan korban-korban mereka. Dokter sinting sekaligus penculik dalam film ini memang benar-benar menyiksa, menghancurkan fisik dan mental korbannya, mempermainkan mereka secara perlahan. Kedua korban diperlakukan benar-benar tidak selayaknya manusia, dan seolah-olah tidak ada harganya sama sekali. Benar-benar sajian penyiksaan yang bangsat!
Tapi Grotesque bukannya tanpa momen membosankan. Pada paruh awal saat si penculik melakukan foreplay pada korban wanitanya, film ini sempat terasa membosankan karena durasi yang tersita terlalu lama pada bagian itu. Tentu saja ini bukan film-film JAV yang akan membuat penontonnya terangsang melihat adegan foreplay-nya, jadi adegan si penculik meraba-raba dan menjilati tubuh korbannya malah jadi terasa begitu membosankan. Untungnya setelah itu kegilaan mulai bertambah dan segala penyiksaan sinting mulai digeber sehingga Grotesque pun tetap jadi tontonan gila nan menyenangkan hingga akhir. Lalu jika bicara ending, mungkin penonton akan terbagi dua, yaitu yang membenci atau yang menyukai ending-nya. Yang membenci akan beranggapan setelah lebih dari satu jam penyiksaan dengan tone yang kelam dan serius tiba-tiba filmnya ditutup dengan akhir yang “konyol” seperti film-film gore-nya Nishimura. Namun saya termasuk yang menyukainya karena alasan yang simpel, yaitu saya berhasil dibuat tertawa terbahak-bahak. Bagi saya ending itu makin melengkapi dinamika yang dihadirkan film ini, mulai dari tegang, jijik, menyakitkan, bahkan tawa di akhir. Namun saya tidak menyukai sebuah fakta yang dibeberkan tentang si penculik yang mengungkap kenapa dia hidup sendirian dan pada akhirnya memicu segala perbuatan gila tersebut. Bagi saya momen itu tidak hanya konyol tapi sangatlah dipaksakan, seolah Koji Shiraishi ingin memberikan kedalaman pada karakter itu tapi bingung harus mengemasnya seperti apa. Tapi secara keseluruhan ini adalah tontonan super gila sekaligus super menyenangkan. Saya cukup yakin masih ada film-fim lain yang lebih sinting, lebih disturbing dari ini, dan susah dibayangkan seperti apa film-film tersebut.